My Wonder Woman


Persis seperti Wonder Woman, dia juga seorang putri.

Ibu lahir tahun 1933, artinya dia melewati masa penjajahan Jepang, Perang Kemerdekaan, dan Pendudukan Belanda. Tapi karena ibunya (Nenek gue) seorang Pengawas Sekolah, sebuah profesi yang sangat bergengsi di masa itu, plus bapaknya (Kakek gue) orang dekat seorang pemimpin pergerakan nasional, keluarga kecil mereka relatif aman dari jangkauan tangan-tangan jahanam Jepang dan Belanda. Tentunya hidup di tengah perang kemerdekaan nggak bisa sepenuhnya dibilang “nyaman”, tapi sebagai anak tunggal dari latar belakang keluarga seperti itu, Ibu nggak pernah merasakan kekurangan.

Lalu dia tumbuh besar, dan menemukan Sang Pangeran yang tahu persis bagaimana memperlakukan seorang putri.

Bapak bukan orang yang bergelimang harta, tapi kami sekeluarga: Ibu dan keempat anaknya termasuk gue, plus Nenek yang pensiunan pengawas sekolah, dibuatnya nggak pernah kepikiran soal uang seperti ikan nggak pernah kepikiran soal air.

Gue, misalnya. Resminya hanya punya jatah beli mainan sebulan sekali. Tapi kalo kebetulan ikut ke toko, dan “nampak cukup ingin” sebuah mainan bodoh yang ada di sana, ya dibeliin juga — sekalipun mainan terakhir gue baru berumur 4 hari.

Akhir pekan tipikal keluarga kami adalah: jalan-jalan ke Pasar Baru, di mana Ibu akan ngetem di sebuah toko peralatan rumah tangga langganan sementara Bapak menggiring kami berempat belanja buku, mainan, sepatu, tas, dan apapun yang kami inginkan, lalu balik ke toko tadi menjemput Ibu dan membayar deretan belanjaannya. Kadang belanjaan Ibu sampai perlu diantar pake trolley ke mobil saking banyaknya. Yang dibeli nggak jauh-jauh dari peralatan dapur: panci bertekanan, panci dengan lapisan antilengket, aneka pisau dan pengiris ajaib, toples, piring, dan alat-alat makan lainnya. Bapak membayar semuanya tanpa berkedip, tanpa bertanya “ngapain sih beli ini”. Just took out his wallet, pull out a handful of money, and never bother to check the change.

Tentunya nggak setiap akhir pekan kami jalan-jalan belanja. Kadang ada saatnya Ibu mengisi Minggu pagi dengan sibuk memasak, mencoba gadget-gadget terbarunya di dapur, lalu kami makan siang bersama. Setelah itu Ibu biasanya terlalu capek untuk jalan-jalan, maka tugas Bapak mengajak empat anak plus seorang nenek nonton bioskop. Di setiap Minggu pagi, sejak pagi-pagi sekali, Nenek biasanya sudah berdandan rapi dengan rambut disasak, peniti emas terpasang, dan wangi eu de cologne 4711 menguar. Sebuah kode keras yang selalu berhasil ditangkap oleh Bapak.

Rumah kami selalu ramai. Selain karena lokasinya yang strategis di pusat Jakarta, juga karena Ibu berprinsip, “tidak boleh ada yang kelaparan di rumah ini”. Sanak saudara, teman-teman kakak gue, silih berganti mampir, kadang menginap berhari-hari, dan selalu diterima dengan tangan terbuka oleh Ibu, disuguhi masakan-masakannya yang selalu juara, bahkan saat pulang dibekali makanan matang dalam rantang, kadang plus sembako. Dan Ibu nggak pernah repot menagih rantangnya balik.

Basically, life was just PERFECT.

Lalu tiba-tiba, di sebuah Minggu Wage di tahun 1983, Sang Pangeran direnggut dari tengah-tengah kami setelah penyakit livernya membuat ia memuntahkan darah segar sewastafel penuh.

Ibu, di umur 50 tahun, tanpa pengalaman kerja, tanpa keahlian profesional apapun, tanpa saudara kandung untuk bersandar, tiba-tiba mendapati dirinya harus sendirian menghidupi 4 orang anak dan seorang nenek. Kakak gue yang tertua masih kuliah, menjelang skripsi, yang kedua baru semester 4, yang ketiga baru nyaris lulus SMA, dan gue baru kelas 4 SD.

Itu pasti menakutkan.

Waktu itu gue belum ngerti segawat apa kondisinya, tapi sekarang, kalo gue membayangkan ada di situasi dan kondisi Ibu waktu itu, gue selalu bergidik: apa yang harus dilakukan?

Gue nggak inget Ibu pernah terang-terangan menangis di depan kami. Kadang, kalo gue mengendap-endap masuk ke kamar Ibu saat semua orang tidur siang, gue mendapati Ibu menangis tanpa suara.

Tapi Ibu nggak lama-lama berkabung. Ia tahu, kehidupan harus terus berjalan.

Ia segera menghubungi para koleganya, mencari peluang yang bisa membiayai kami berempat plus Nenek.

Sebuah tawaran datang: menjaga butik di sebuah hotel berbintang lima.

Ibu berpikir lama, dan akhirnya menolak.

Pertama: karena walaupun hanya di butiknya, Ibu merasa berkeliaran di hotel, di tahun itu, bukanlah ide yang baik.

She is a princess, she chooses carefully where she is going to be.

Kedua: karena berarti ia harus meninggalkan rumah.

A princess never leaves her castle.

Ibu mencoba lagi, hingga akhirnya berkontak dengan seorang kenalan lama, pemilik catering besar, menawarinya kesempatan menjadi subkontraktor. Ibu cukup memasak apapun yang dipesan catering itu di rumah, nanti diambil oleh pihak catering dan dibawa ke lokasi pemesan.

Ibu langsung menyetujui tawaran itu, dan sejak itulah kami sekeluarga bahu-membahu membantu Ibu menjalankan bisnis kulinernya. Waktu masih SD, tugas gue adalah membantu membawakan belanjaan Ibu kalau lagi belanja di Pasar Cikini. Waktu udah SMP, gue naik pangkat: belanja sendiri ke pasar, beli berpuluh-puluh ayam atau kelapa atau keduanya.

Setiap ada pesanan besar, perasaan kami bercampur: senang karena ini berarti akan ada uang masuk, tapi juga kesal karena bisnis kuliner itu bener-bener menguras tenaga. Kami berempat membagi aneka tugas, mulai dari membuat kardus untuk wadah kue, memotongi kelapa, mengaduk santan, sampai menghias dan menempatkan kue-kue dalam kardus.

Salah satu kue kreasi Ibu berhasil tembus ke Istana Negara, dan Presiden Suharto nampaknya ketagihan rapat pagi sambil nyemil kue buatan Ibu. Rapat pagi biasanya dimulai jam 8. Artinya kue sudah harus sampai di Istana jam 7. Artinya kue harus siap diangkut dari rumah gue selambatnya jam 6. Artinya seluruh proses harus dimulai selambatnya jam 10 malam sebelumnya, dan berlangsung semalam suntuk hingga jam 6 pagi. Yah, kalo dihitung dari jam kerjanya sih mirip orang kantoran, 8 jam. Bedanya, ini kerjanya tengah malam. Jadi lebih mirip jam kerja hansip, sebenarnya.

Ibu nggak pernah membiarkan kami berempat ikut bergadang untuk bikin kue. Setelah semua kelapa dipotongi dan semua santan matang, Ibu bekerja sendirian, baru belakangan dibantu asisten, berdiri di depan kompor dan oven panas, sampai pagi. Hampir setiap hari seperti itu.

Apakah hasilnya cukup?

Antara ya dan tidak.

Gue sih nggak pernah merasakan harus pakai sepatu mangap, atau celana compang-camping, atau telat bayar SPP. Tapi di saat temen-temen gue enteng aja minta uang ke orang tuanya untuk jajan atau beli benda-benda nggak penting, kami berempat yang melihat langsung betapa capeknya proses untuk mendatangkan uang jadi mikir 100x sebelum menadahkan tangan ke Ibu. Yang ada justru sebaliknya, kakak-kakak gue terasah untuk kreatif nyari peluang-peluang yang bisa mendatangkan uang. Kakak gue membuka bisnis parsel lebaran dan natal sebelum lulus kuliah, sementara gue udah bayar uang kuliah sendiri sejak semester 5 dengan ikutan proyek psikotes lepasan.

Yang jelas, di masa Ibu baru merintis bisnis kulinernya, kadang Ibu mengajak gue mampir ke toko emas di Pasar Cikini. Gue melihat ibu menyerahkan beberapa potong perhiasannya, lalu menerima uang. Ibu menjawab gue yang bertanya-tanya dengan, “Ibu nitip dulu perhiasan di sini, supaya Ibu bisa dapat uang. Nanti kalau Ibu sudah dapat uang dari jualan kue, perhiasannya Ibu ambil lagi.”

Gue bisa bilang bahwa yang “dititip” jauh lebih banyak daripada yang berhasil Ibu ambil lagi.

Uang nggak selalu mengalir masuk, tapi selalu mengalir keluar. Bukan hanya ada kami berempat plus Nenek, dalam sebuah periode muncul pula seorang kerabat dalam keadaan setengah lumpuh akibat stroke, ikut menumpang hidup beberapa tahun di rumah kami. Plus rumah kami tetap sama seperti dulu, jadi tempat persinggahan siapapun yang ingin singgah.

Ibu menerima semuanya tanpa mengeluh.

Ketika kita hanya melihat yang istimewa, kita nggak sadar bahwa itu istimewa sampai kita melihat seperti apa yang nggak istimewa. Setelah melihat zaman sekarang orang dikit-dikit curhat di medsos, baru gue sadar istimewanya Ibu yang menjalani semuanya tanpa mengeluh, tanpa air mata, tanpa drama.

Saat orang-orang zaman sekarang nampak sangat menikmati curahan perhatian dan empati dari banyak orang, Ibu menjaga agar jangan sampai anak-anaknya dikasihani orang hanya karena berstatus “anak tukang kue”. Setiap lebaran Ibu mengusahakan betul kami pakai baju baru, dan kalau ada undangan makan gue pasti dikasih makan dulu biar nggak nggeragas di tempat orang.

She stood tall, chinned up, sealed her problems behind tight lip smile.

Lagi ada tamu, uang nggak ada, ya tinggal “titip” perhiasan ke Pasar Cikini. Yang penting bisa menjamu tamu dengan yang terbaik yang Ibu bisa.

Bertahan tinggal di tengah Jakarta, dengan penghasilan tukang kue yang nggak menentu, bukan hal gampang. Pernah Ibu sempat berpikir untuk menjual rumah kami dan pindah ke pinggiran Jakarta yang pajaknya lebih murah dan supaya ada selisih uang untuk tabungan. Di masa itu, PBB rumah kami udah mencapai 8 digit. Sebuah angka yang berat dicapai seorang tukang kue rumahan. Tapi Ibu membatalkannya dengan pertimbangan sederhana: karena rumah kami dibutuhkan banyak orang untuk singgah.

A princess never gives up her castle.

Bukan cuma orang-orang yang datang ke rumah, tapi Ibu juga mengurus sanak saudara yang tinggal jauh dari Jakarta. Setiap Lebaran dan Natal, Ibu sibuk membungkusi paket-paket hadiah.

“Kalau lagi hari raya begini, kita harus ingat sama saudara-saudara kita yang janda-janda, karena mereka pasti kan ingin merasakan senang juga,” kata Ibu, tanpa sadar bahwa dirinya juga janda yang nggak banyak orang terpikir untuk mengirimi hadiah (karena orang selalu mengira kami baik-baik saja dan berkecukupan).

Ibu mengakhiri bisnis kulinernya saat kami berempat sudah berhasil punya pekerjaan masing-masing. Walaupun udah pensiun, kadang Ibu turun juga ke dapur kalau ada fans beratnya yang sampai mengemis-ngemis minta Ibu memenuhi pesanannya. Sementara gue, setelah berhasil punya gaji dengan nominal yang tidak lagi terlalu memprihatinkan, membelikan Ibu seuntai gelang emas — yang nilainya gue tahu, nggak seberapa dibandingkan yang pernah Ibu “titip” di Pasar Cikini.

Basically, life is getting perfect, again.

Hingga tiba-tiba, tahun 2006 Ibu sakit keras.

Bisnis kulinernya bertahun-tahun lalu, yang memaksanya berdiri berjam-jam setiap malam, diam-diam menggerogoti sendi-sendi bahu dan lututnya. Waktu itu Ibu nggak punya waktu untuk sakit, maka Ibu datang ke seorang dokter yang punya “suntikan ajaib”: sekali suntik, sakit di bahu dan lutut Ibu hilang beberapa bulan. Belakangan ketahuan, ternyata suntikan itu sekedar mematikan rasa sakitnya, sementara kondisi persendian Ibu semakin buruk hingga akhirnya, berpuluh tahun kemudian, terjadi infeksi. Catatan soal ini pernah gue posting berseri mulai dari sini.

Peristiwa itu membuat Ibu harus duduk di kursi roda, tapi sekaligus membuktikan bahwa dia benar-benar Wonder Woman.

Awalnya Ibu berkecil hati karena tadinya bisa leluasa jalan sendiri, sekarang harus duduk di kursi roda.

Gue jawab, “Justru harusnya Ibu bangga, karena walaupun Ibu di kursi roda, yang mendorong dari belakang adalah anak cucu Ibu. Bukan suster. Justru ibu-ibu itu, yang lagi didorong suster, lagi iri lihat Ibu.”

She is not just a princess. She is a warrior princess.

Semangat Ibu untuk pulih lagi, lewat terapi, lewat latihan mandiri, terus berkobar. Kami, para anak dan menantunya juga membuktikan bahwa kursi roda bukan halangan untuk menikmati hidup. Yang diperlukan hanya sedikit koordinasi dan perencanaan, selebihnya Ibu tetap bisa jalan-jalan ke manapun yang ia mau. Mau ke mall, OK. Mau ke Bali juga hayo. Termasuk nonton bioskop, yang medannya berundak-undak. Termasuk menunaikan ibadah haji. Catatan soal ini pernah gue posting di sini.

When life knocks her down, she bounces back.

Makanya saat pertengahan Mei 2018 Ibu didiagnosa menderita infeksi usus dan harus dioperasi, gue sama sekali gak khawatir.

“Kemungkinan operasi Ibu berhasil hanya di bawah 40%,” kata dokter dengan ekspresi prihatin.

Gue, dalam hati, berkata, “You don’t know her, doctor. She bounces back.”

Beberapa saat sebelum didorong masuk ke kamar operasi, Ibu bilang, “Aku haus.”

“Ibu harus puasa. Nanti kalo udah selesai operasi aku kasih minum,” jawab gue.

“Ooo ya udah,” kata Ibu enteng.

She is The Warrior Princess. She stares into life’s eyes without blinking.

Saat didorong masuk kamar operasi, Ibu melambaikan tangan kepada kami, seolah-olah cuma mau pergi sebentar ke Pasar Cikini.

Gue mulai khawatir saat 24 jam setelah operasi, angka-angka hasil tes Ibu masih mengkhawatirkan. Rupanya racun dari infeksi Ibu menyebar ke berbagai organ. Fungsi ginjal ibu tinggal 14%. Bekas operasinya rembes. Ibu terbaring nggak sadar di ICU.

Kami sekeluarga mendoakan Ibu, dan makin lama gue makin kehilangan keyakinan. She fights back as always, but this time the opponent is too strong.

Perlahan fungsi ginjal Ibu naik hingga 40%, angka-angka yang seharusnya turun mulai bergerak turun, bekas operasi gak lagi rembes, tapi Ibu belum juga bangun. Dokter bilang, infeksinya juga menyerang paru-parunya dan kini itu yang jadi masalah utama. Ibu nggak bisa bernafas tanpa ventilator.

Kami hanya bisa menengok Ibu di jam berkunjung, dua kali sehari. Setiap kali berkunjung gue merasa bahwa jauh di dalam ketidaksadarannya Ibu sedang berjuang keras seperti biasanya, tapi yang kasat mata terlihat Ibu masih tertidur sangat lelap.

Tanpa terasa 3 minggu terlewati. Bau alkohol yang harus dibilaskan ke tangan setiap kali hendak memasuki ruang ICU, desis ventilator, suara-suara alarm monitor jantung dan paru-paru yang kadang membungakan harapan tapi lebih sering menguncupkan, jadi bagian keseharian kami. Nggak ada yang bisa dilakukan kecuali berharap paru-paru Ibu bisa berfungsi normal seperti seharusnya, sehingga gue bisa mengambilkan minum yang gue janjikan sebelum Ibu masuk ruang operasi.

Hingga tanggal 3 Juni 2018 kemarin, beberapa menit selepas jam 11, kakak ipar gue muncul menemui gue dan kakak-kakak di ruang tunggu.

“Dokter mau ketemu,” katanya

“Ya udah kamu ajalah yang nemuin. Paling mau minta tanda tangan persetujuan pemberian obat, kan?” jawab kakak gue.

“Bukan. Ibu kritis.”

Ada rasa yang sulit gue deskripsikan saat berjalan menuju ICU detik itu. Seperti ada energi panas yang molos dari dalam badan gue, digantikan angin dingin yang mengiris.

Tiga dari empat anak Ibu berkumpul di ICU. Kakak gue yang tertua masih di rumahnya. Nggak ada yang mengira Ibu akan kritis. Bukankah semua tanda mengarah ke kondisi lebih baik? Ini nggak masuk akal. She is The Warrior Princess. She bounces back.

Dokter menjelaskan, sejak 2 hari lalu tubuh Ibu nggak lagi merespon obat-obatan penguat jantung dan paru-paru sebaik biasanya. Dosisnya terus ditambah, tapi efeknya terus menurun. Hingga hari ini, ada tanda-tanda tubuh Ibu menolak obat-obatan sepenuhnya.

Yang tertera di monitor, detak jantung Ibu hanya 50 per menit. Itu dengan dosis obat maksimal, yang kalo diberikan ke orang normal mungkin bisa melejitkan angka itu menembus 200.

Yang kasat mata masih sama, tapi gue merasakan, jauh di dalam sana, perlawanan Ibu semakin lemah. She must be very tired.

Kami membacakan syahadat, dan denyut Ibu naik ke 60.

She gives her one last fight.

Lalu habis itu perlahan menurun ke 50, 40, 20.

Lalu nol.

Dada Ibu masih naik turun karena pompaan ventilator, tapi jantung Ibu udah berhenti.

My Wonder Woman is gone. Di hari yang sama dengan Sang Pangerannya, Minggu Wage.

Sugeng tindak Ibu.

Sembah nuwun untuk semuanya.

Semoga di sana para malaikat cukup cekatan untuk mengambilkan segelas air, ya.

Thank you for setting the high standard on how a human being could and should give to others.

Tinggalkan komentar

22 Komentar

  1. Alfathiha untuk ibu ya mas.semoga allah menempatkan ibu di tempat yg terbaik disisiNYA…semoga mas agung sekeluarga diberikan keikhlasan dan kesabaran menghadapi cobaan ini. She was indeed a warrior princess.

    Suka

    Balas
  2. Allaahummaghfirllaha warhamha wa’afiha wa’fu’anha… makasih udah berbagi kisah mengenai ibu… she’s really a true princess warrior…

    Suka

    Balas
  3. True Princess! …. The Warrior Princess! Amazing woman! … Makasi untuk sharingan ceritanya ya om! semoga beliau mendapatkan tempat yang istimewa di sisi Allah SWT! RIP mamanya om mbot ..

    Suka

    Balas
  4. Betul-betul wanita yang hebat. Semoga ibunda mendapatkan tempat teristimewa di sisi Allah Swt. Turut berduka cita Mas Agung.

    Suka

    Balas
  5. It’s only a prayer far to where she is. my deep condolence…

    Suka

    Balas
  6. Innalillahi wa innailaihi roji’un. Semoga ibu dilapangkan kuburnya, diampuni dosa dosanya, serta diberi kesabaran dan keikhlasan pada keluarga yang ditinggalkan.
    Cerita yang indah Gung. Ibumu luar biasa, seorang petarung yang pantang menyerah.

    Mong ngomong, kue apa yang jadi favoritnya pak Harto yang menemani rapat rapat paginya?

    Trus kue yang pake santan, kue apa?

    Jadi ternyata bisnis kuliner ibu yang jadi contoh Ida untuk merintis bisnis kuliner juga, yang sayangnya sekarang sudah mati suri.

    Suka

    Balas
    • Ibu menamakan kuenya Lumpur Keju. Jadi Ibu memodifikasi adonan dasar kue lumpur yang biasanya manis dengan isian kelapa, menjadi gurih dengan isian kornet dan topping jamur serta keju. Itu salah satu bahannya adalah santan, dan Ibu nggak percaya dengan kebersihan alat parut tukang kelapa. Makanya Ibu memilih membeli kelapanya aja, dipotongi lalu diblender di rumah.
      Penampakannya, versi buatan Ida bisa diklik di sini.

      Iya, awal cerita Ida mewarisi resep-resep kue Ibu bisa dibaca di sini. Posting ini ditulis bulan Juni 2007, sementara website kotakkue.com live bulan Desember 2007.

      Suka

    • Tulisan ini aku baca berulang ulang, gak bosen bosen sampe sampe aku ngeh kalau ada yang diedit, misalnya tentang PBB rumah. Berarti rumahmu di tengah kota banget ya Gung?

      Kayaknya bagus juga dijadikan buku Gung, kisah tentang ibumu ini. Kalaupun tidak untuk publik, tapi bisa untuk kalangan keluarga, sebagai pengingat sejarah. Kalau emang iya, aku mau Gung.

      Baca tulisan ini aku jadi ngeklik beberapa linknya, dimana cerita selanjutnya ada linknya lagi, dan menuju ke MP yang mana udah almarhum pula. ah iyaaaa, jadi inget kue lumpur asin itu ya. Sayup sayup inget waktu ngempi, Ida pernah cerita. Sayang sekarang bisnis kulinernya udah tutup.

      Suka

    • iya, setelah dibaca-baca lagi, belum cukup informasi untuk menjelaskan kenapa Ibu sempat kepikiran untuk pindah, makanya ditambahkan keterangan tentang PBB itu. Iya di tengah kota banget, makanya dulu gang MP langganan ngumpul di rumah dan sempet ngerasain berinteraksi juga dengan Ibu.

      Suka

  7. Innalillahi wa innailaihi rojiun. Ceritanya indah sekali.

    Suka

    Balas
  8. Innalillahi wa inna ilaihi rajiun..turut berduka cita buat mas Mbot sekeluarga. Semoga almarhumah Ibu mendapat tempat terbaik di sisi Allah 🙇🙇

    Suka

    Balas
  9. Innalillahi wa innailahi rojiun.. Semoga almarhumah husnul khatimah. Aamiin.

    Suka

    Balas
  10. Innalillahi wa innailaihi rojiun. Matur nuwun mas sdh berbagi kisah Ibu. Sangat inspiratif.

    Suka

    Balas
    • Sama-sama, terima kasih juga udah meluangkan waktu untuk baca. Mohon doanya ya untuk Ibu.

      Suka

Ada komentar?

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.

Eksplorasi konten lain dari (new) Mbot's HQ

Langganan sekarang agar bisa terus membaca dan mendapatkan akses ke semua arsip.

Lanjutkan membaca