Pada suatu hari, si Agus lagi jalan-jalan tanpa juntrungan di mal, trus tiba-tiba dapet ide: “kayaknya lucu juga nih kalo nonton.” Tanpa punya bayangan film apa yang ingin dia tonton, dia dateng ke bioskop. Eh kebetulan hari itu adalah hari pertama pemutaran film Transformers 3 yang sejak tahun lalu udah digadang-gadang bakal lebih seru dari yang pertama dan ke dua. Akibatnya, antrian di loket luber sampe keluar bioskop. Padahal, jangankan ngefans, antara Megan Fox sama Megatron aja dia suka rada susah bedain. Maka Agus pun mikir, “Main di Timezon aja ah. Seru juga, nggak pake ngantri.” Lalu ngeloyorlah dia ke Timezone.
Beda kasus dengan si Budi. Budi suka nonton Transformers. Yang nomer 1 dan 2 udah dia tonton semuanya di bioskop. Tapi untuk yang ke 3 ini dia rada pesimis bisa nonton di bioskop gara-gara kasus konyol pembayaran bea masuk film. Maka Budi pun berniat beli DVD bajakannya aja, atau download dari internet. Kalopun gambarnya rada burem dikit nggak apa lah, yang penting kan bisa ngikutin ceritanya. Malah kalo nonton DVD bajakan lebih bagus, dapet penampakan ekstra berupa kepala-kepala penton lainnya di bagian bawah layar. Kan jadi serasa nonton di bioskop juga.
Lain lagi dengan Cecep. Dia fans berat Transformers. Dia fans berat Michael Bay. Dia fans berat apapun yang bisa berubah bentuk jadi robot. Begitu denger kabar Transformers 3 nggak akan masuk Indonesia, kontan dia pesen tiket ke Singapur untuk bulan Juli nanti. Agendanya cuma satu: nonton Transformers 3 di bioskop, yang gambarnya dijamin terang dan tata suaranya dipastikan menggelegar. Buat dia, pantang nonton Transformers 3 di tempat selain bioskop.
Tiga ilustrasi di atas sama-sama menggambarkan perilaku orang soal nonton film, tapi dalam intensitas yang berbeda banget. Agus adalah contoh perilaku orang yang ingin nonton karena sekedar iseng, nggak punya kegiatan lain. Film hanyalah satu dari sekian banyak pilihan kegiatan. Begitu ada hambatan, dengan mudahnya dia beralih pada kegiatan lain. Budi adalah penggemar film-nya. Medianya bisa bioskop, bisa DVD bajakan, bisa file download-an, yang penting dia bisa nonton. Sedangkan Cecep adalah penggemar pengalaman nonton-nya. Buat dia, yang namanya film ya harus ditonton di bioskop, nggak ada kompromi.
Perbedaan antara Agus, Budi, dan Cecep terjadi pada alasan mereka ingin nonton. Dan perbedaan seperti ini juga umum terjadi pada orang yang ingin melangsing.
Seperti yang pernah gue singgung sekilas di journal yang ini, ada orang yang ingin melangsing hanya karena “Lucu juga kali ye, kalo gue langsingan”. Awalnya mungkin karena lagi buka-buka majalah, liat para model langsing yang ada di sana, trus terlintas deh pikiran untuk melangsing seperti para model. Untuk orang dengan motivasi seperti ini, melangsing hanyalah salah satu cara untuk membuat dirinya lebih bahagia. Artinya, kalo program melangsingnya gagal, ya gak papa. Atau, kalo disodori sederetan menu sehat atau daftar porsi olah raga, mereka mungkin akan bilang, “Adeuuu… rempong amat ya kalo mau langsing, gue mending gendut aja deh kalo gitu. Toh gendut-gendut gini juga gue masih laku.”
Ada juga orang yang hanya ingin langsingnya, dengan cara yang segampang mungkin. Pokoknya langsing. Urusan lainnya gak urus. Seorang temen lama yang dulu suka ngerokok bareng di tangga cerita, dia punya dokter langganan yang bisa melangsingkan orang hanya dengan ‘disuntik vitamin C’.
“Setahu gue vitamin C memang sehat, tapi kayaknya efeknya nggak segampang itu deh. Disuntikin langsung kurus. Jangan-jangan bukan vitamin C,” kata gue skeptis.
“Eh kok nggak percaya. Lha ini gue kemarin abis disuntik, lengan gue langsung kecilan. Tapi yah, kata dokternya sekarang gue harus sering-sering minum air putih, supaya obatnya nggak numpuk di ginjal,” katanya enteng.
Dengan kata lain, ‘vitamin C’ atau apapun yang disuntikkan si dokter ke dalam tubuhnya itu memaksa ginjal bekerja lebih keras, atau malah mungkin berpotensi meracuni, sehingga harus dinetralkan dengan banyak minum air putih. Dan belakangan gue ketahui bahwa tepatnya bukan ‘disuntik’, melainkan diinfus. Jadi ‘obat’ pelangsingnya itu dikemas dalam kantong dan dimasukkan ke tubuh lewat jarum yang dipasang di pembuluh darah. Ironis sebenernya, mengingat temen gue ini sering bilang olah raga itu mengerikan tapi di sisi lain sama sekali nggak ngeri memasukkan zat asing ke pembuluh darahnya.
Di acara kumpul-kumpul Oriflame-nya Ida juga gue pernah denger pengalaman salah satu temennya yang mencoba melangsing dengan cara nggak makan atau minum apapun kecuali air kelapa. Memang sih, air kelapa itu sehat. Tapi secara logika bego-begoan aja, kalo dalam beberapa hari lambung lu nggak kemasukan apapun kecuali air kelapa, sementara produksi asam lambung terus berjalan, gimana bisa sehat, sih? Dan bener aja, setelah 3 hari menjalani diet brutal kayak gitu, temennya Ida ini panas tinggi dan harus dibawa ke dokter.
Temen gue yang lain minum seduhan ‘daun jati Cina’ setiap habis makan. Efeknya, sesaat setelah minum ramuan itu, akan timbul ‘panggilan alam’ alias kebelet BAB. Maka keluarlah segala makanan yang baru dimakan tadi lewat jalur belakang, dengan waktu singgah yang cuma beberapa menit di lambung. Pertanyaan gue: kalo makanan ‘dipaksa’ untuk keluar dalam waktu sesingkat itu, trus apa kabar dengan penyerapan nutrisinya?
Kalo gue sih, inginnya sehat DAN langsing.
Inspirasi utama adalah Rafi. Beberapa bulan yang lalu, kalo gue boncengin dia naik sepeda ke sekolah, dampaknya adalah keringat mengucur, napas ngos-ngosan, dan jantung serasa mau lompat keluar. Padahal jarak tempuhnya cuma 800 meter.
Sebagai anak laki-laki, secara naluriah Rafi juga suka permainan yang fisik banget seperti main kuda-kudaan, main onta-ontaan, atau main ikan-ikanan yang intinya sama: nindihin bapaknya di atas kasur. Setiap kali abis main kayak gitu, pinggang gue serasa mau patah.
Kondisi itu bikin gue mikir, bahwa seiring perkembangan usianya, tuntutan permainan fisik kayak gini pasti akan makin berat. Dan rasanya bukan teladan yang terlalu positif bila seorang bapak berkata kepada anaknya, “Maaf nak, bapak nggak bisa nemenin main di luar. Asam urat bapak lagi kumat.” Aktivitas orangtua adalah standar perilaku buat anaknya. Gimana seorang anak bisa berkembang jadi anak yang gesit dan cekatan kalo tiap hari yang dia liat orang tuanya duduk selonjoran sambil ngoles minyak urut? Target pertama gue adalah: sehat dan punya stamina bagus.
Yang ke dua adalah baju ukuran all size. Lu boleh bilang gue konyol, tapi terus terang gue merasa terlecehkan oleh fakta di mana gue nggak pernah muat pake baju berlabel “all size”. Baju berlabel all size kan artinya “manusia dengan ukuran apapun akan muat pake baju ini”. Lah kalo gue nggak muat, artinya gue bukan manusia, gitu? Baju all size itu biasanya mengambil ukuran mirip seperti ukuran L, maka itu jadi target gue yang ke dua: muat dalam baju ukuran L.
Karena gue ingin sehat, maka segala metode pelangsingan yang berisiko terhadap kesehatan gue coret dari daftar, dan memilih Herbalife 🙂
Karena tujuannya untuk mendampingi pertumbuhan Rafi yang m
asa depannya masih panjang, maka gue butuh metode yang kontinu dengan hasil permanen – bukan metode kilat yang bikin langsing dalam sebulan tapi gendut lagi dalam 3 bulan.
Karena gue ingin muat dalam baju ukuran L, maka sekalipun angka-angka laporan medical check-up gue yang terakhir normal-normal aja, gue masih melanjutkan program pelangsingan.
Karena gue ingin punya stamina yang bagus, maka gue memasukkan olah raga dalam program pelangsingan gue.
Poin gue adalah, alasan mengapa elu ingin langsing itu sangat, sangat, sangat penting banget sekali. Alasan di balik usaha lu melangsingkan diri akan sangat berpengaruh pada cara apa yang lu pilih; dan seberapa jauh lu mau berkorban untuk mencapainya. Saran gue, jangan mulai program pelangsingan apapun sebelum lu punya jawaban yang memuaskan atas pertanyaan:
“Kenapa gue ingin melangsing?”
Buat yang ingin melangsing secara sehat dengan Herbalife, jangan malu-malu lho untuk kirim PM ke gue atau email si.mbot [at] gmail.com 🙂
Gambar, masih gue pinjem dari gettyimages.com