Cerita berawal waktu sekitar sebulan yang lalu kantor gue ngedarin list pendaftaran kursus bahasa Inggris kolektif. Kebetulan banget, gue emang udah lama kepingin punya sertifikat kursus bahasa Inggris. Masalahnya, di kantor sebelumnya (yang shipping company itu), gue cukup dibikin repot hanya karena nggak punya sertifikat kursus bahasa Inggris.
“Tolong besok dibawa sekalian dokumen2 pendukungnya ya, ijazah, referensi kerja, sertifikat kursus bahasa Inggris…” demikian kata HR manager yang menginterview gue waktu itu.
“Saya nggak punya bu… saya belum pernah ikut kursus bahasa Inggris…”
“Loh, gimana dong, kantor ini bahasa resminya bahasa Inggris lho!”
“Ya ibu silakan aja tes langsung bahasa Inggris saya, sebab saya nggak punya sertifikat”
“Kamu bisa nggak bahasa Inggris?”
“Insya Allah bisa bu”
“Terus kamu selama ini belajar bahasa Inggris dari mana?”
“Ya dari sekolah bu, sama dari film dan lagu”
“Ah, mana mungkin!!”
=Loh, gimana sih?=
Padahal serius lho, film dan lagu adalah media belajar terbaik buat gue. Sekedar contoh, misalkan gue ragu -kalo mau nulis tanggal, harusnya pake ‘on’, ‘in’, atau ‘at’ ya?- Maka gue tinggal search library teks lagu di kepala gue sampe nemu lagunya Whitney Houston – “You’re still my man” yang awalnya berbunyi: “On the day that you left me, you said you have no regrets…” Ooo… kalo gitu hari atau tanggal tuh pake “on”. Cara belajar yang mudah dan menyenangkan, bukan?
Tapi namanya juga Indonesia, di mana orang lebih percaya sama surat ketimbang bukti nyata kompetensi, gue butuh selembar kertas yang melegalisasi bahasa Inggris gue. Makanya gue langsung semangat ikutan kursus. apa ruginya, dibayarin kantor, dapet sertifikat. Oh iya, balik ke pengalaman gue di shipping company itu, solusi yang diambil sama si ibu HR manager adalah: gue harus usaha sendiri cari lembaga kursus bahasa inggris yang bisa menjustifikasi bahasa Inggris gue. Maka gue dateng ke TBI di gedung Setiabudi kuningan, ikutan placement test dengan harapan dapet secarik kertas yang memuat tingkat bahasa Inggris gue. Tapi ternyata TBI nggak setolol itu. Hasil placement test cuma disebutin secara lisan aja, nanti kalo gue beneran daftar les di situ, baru deh dikasih hasil tertulisnya. Sial. Maka waktu itu gue lapor sama si ibu HR manager “Bu, saya udah ikutan placement tes di TBI, kata mereka saya level sekian, tapi mereka nggak mau ngasih hasil tertulis.”
“Oh, jadi bahasa Inggris kamu level segitu ya? Ok deh kalo gitu kamu diterima.”
Jadi garis besarnya, gue harus repot2 ikut placement test di TBI hanya karena gue nggak punya bukti tertulis, tapi akhirnya gue diterima juga tanpa bukti tertulis. Gimana seeeh????
Ok, balik ke urusan kursus di kantor yang sekarang;
Sekitar dua minggu yang lalu pihak penyelenggara kursusnya dateng ke kantor untuk mengadakan placement test. Pas liat buku soalnya, kok kayaknya familiar ya?
“Mbak dari kursus mana sih?”
“TBI, Pak…”
ealaaa… dia lagi.
Minggu lalu, di WC gue ketemu sama Budi, orang kantor gue yang bagian mengkoordinir per-kursus-an
“Gung, hasil placement test dari TBI udah keluar tuh. Level lo paling tinggi loh, cuma elo sendiri yang di level itu.”
“Oh ya? Terus kapan nih kita mulai kursus?”
“Mei kali.”
“Ok, sip.”
Tadi pagi, salah satu boss gue mau bikin presentasi, dan seperti biasa draftnya diserahin ke bagian gue untuk dipercantik secara visual. Gue baca2 draftnya, dan nemuin ada sedikit kesalahan penempatan kata “is” dan “to”. Sebagai anak buah yang beritikad baik, gue memberitahukan kesalahan ini ke boss, dan boss juga langsung bilang “oh iya, salah. Makasih ya udah dibenerin.”
Udah tuh. Harusnya cerita selesai sampe di situ, seandainya temen gue yang bernama Nanda nggak nyeletuk, “Wuih, hebat ya Agung, bahasa Inggrisnya boss aja dikoreksi…”
Umpan langsung disambar sama temen gue yang lain, Rudi “Loh, Nanda nggak tau ya? Agung kan levelnya paling tinggi waktu placement test kemarin!”
“Hah, yang bener lo? Pantesan… Emang hasilnya udah keluar ya?” yang ini suara temen gue yang lain lagi, bernama Fredy.
“Udah! Tuh kalo mau liat ada di Budi.”
“Mana, mana, coba sini gue liat” kata Fredy sambil lari2 ke meja Budi. (Eh, gue baru sadar, kenapa nama temen2 gue pada berakhiran ‘i’ gitu ya? Rudi, Fredy, Budi… selain itu juga ada Joni Rini Ismi dan Susanti! Luar biasa ya? Enggak? Biasa aja?)
Nggak lama kemudian Fredy balik sambil ngewer-ngewer sebundel kertas “Eh bener lho! Ini dia daftarnya! Liat tuh, agung levelnya paling tinggi, cuma dia doang di level itu! Wuiii…. hebbattt…”
Sampe titik ini gue udah mulai agak terganggu, terutama saat semua orang jadi ngerumunin kertas itu dan berdecak-decak secara demonstratif “wuii… iya lho… hebaaat…. ckckckckckckck….!” Nyebelin banget.
Apalagi waktu kemudian semua pembicaraan di sekitar gue jadi dibelok2in ke situ lagi, situ lagi.
“Pantesan waktu itu gue nanya beberapa vocab sama Agung, dia bisa jawab..!”
“Makanya dia cari pacar juga yang guru bahasa Inggris, mungkin kalo pacaran ngobrolnya pake bahasa Inggris kali ye..”
“Wah nanti kalo ke pesta kawinan Agung, jangan2 harus pake bahasa Inggris nih, kalo nggak bisa bahasa Inggris nggak dapet makan…”
dan seterusnya.
Waktu mau beli makan siang, gue jalan ke lift bareng Fredy. Ngobrol2 ringan soal hobi masing-masing dan gue cerita hobi gue ngumpulin mug keramik. Dan tanggapan Fredy adalah, “Oooo… jadi begitu toh cara mengucapkan ‘mug’ yang bener, gue selama ini nggak tau loh. Terima kasih ya gung, semoga ilmu bahasa Inggris lo menular ke gue” katanya sambil menyatukan dua kepalan tangan di depan dada seperti adegan film kung-fu.
Beli makan siangnya cuma dibungkus karena mau makan di pantry, jadi langsung naik lift lagi balik ke kantor. Kali ini udah bertiga: gue, Fredy dan Susanti. Di sebuah lantai, lift berhenti dan ada seorang ibu ragu2 di depan pintu, “eh, ini liftnya naik ya?”
“Iya bu”
“oh, saya mau turun, nggak jadi deh” katanya sambil mundur lagi.
Fredy nyeletuk “tapi kalo mau ikut kita naik dulu juga ga papa kok bu, ntar juga lama2 turun lagi…”
Hehehe, semua ketawa, dan gue kok ya iseng nambahin, “iya, eventually…” Padahal sumpah mati, biasanya gue bukan orang yang suka ngomong campur2 bahasa Inggris.
Sesaat nggak ada yang komentar, sampe tau2 Susanti buka mulut “eh iya, mas Agung, denger2 level TBI-nya paling tinggi yah??”
Arrgghhh… tidakkkk…
Acara makan siang di pantry, awalnya semua pada anteng menikmati nasi padangnya masing2. Trus ada yang ngomong, gue lupa siapa: “kita nih makanannya nggak sehat banget ya, tiap hari makan nasi padang”
Eala… kok ya ada aja yang nyaut, “eh, tapi si Agung biarpun makan nasi padang, tetep pinter bahasa Inggris, levelnya paling tinggi lho…”
Gue serasa mau jedot2in kepala ke atas meja.
Sore sekitar jam 5 waktunya cemilan sore. Fredy ngajakin turun lagi.
“Gung, makan somay yuk”
“Yah jangan somay deh, gue laper nih. Makan yang lebih serius kek, misalnya sate, gitu” kata gue.
“Ok” Fredy setuju.
Kami lewat mejanya Susanti.
“Mau ikut nggak, kita mau makan sate nih” kata Fredy.
“Yaaa, jangan sate deh, somay aja” kata Susanti
“Eh sate aja, Agung maunya makan sate, siapa tau bisa ketularan pinter bahasa Inggris kaya Agung…”
Ya Allah, ampunilah dosa2 hamba…
EPILOG:
Setelah segala penderitaan yang gue alami hari ini, sebuah kabar duka datang dari Mbak Adel, bossnya Budi, yang in-charge soal perkursusan ini.
“Gung, kamu kan cuma sendirian di level itu, padahal TBI nge-charge biaya kursus per kelasnya 8 juta. Kan nggak mungkin kantor ngeluarin 8 juta cuma buat kamu sendirian. Jadi kayaknya kamu nggak bisa ikutan kursus deh, lagian buat apa juga sih, kamu kan udah level segitu…”
Udah kadung jadi bulan-bulanan kanan-kiri, nggak jadi kursus pula. Nasib…
friskatitinova
/ 23 Oktober 2008hahaha…hari yang cukup sulit ya…
SukaSuka
dhiechy
/ 10 Agustus 2007huekekekkekekekekek 🙂 btw mas agung ajarin bhs inggris donk 😛
SukaSuka
p3n1
/ 30 November 2006baru ketemu sama postingan yang inihuahahahaha….
SukaSuka
cindil
/ 29 September 2006Wakakakakkk…… kacian amat sih loe Gung… wakakakakkkk…
SukaSuka
haqy
/ 31 Juli 2006he he
SukaSuka
kunyik
/ 2 Mei 2005please master, have a tea…Gung… Gung… Klu gue gue akan bilang sama mbak Adel. Mbak, klu emang saya yang paling tinggi levelnya, saya aja deh yang ngajar. Lumayan biar nanti dapet tambahan 8 juta per bulan.hehehe…
SukaSuka
nadnuts
/ 1 Mei 2005tapi aku menyesal gung…beneran deh…*masih meneteskan air mata penyesalan*
SukaSuka
mbot
/ 1 Mei 2005tapi kan artinya masih kalah dong sama yang sampe sma di menteng dan tinggal di prapanca… 🙂
SukaSuka
mbot
/ 1 Mei 2005setuju juga, gue dulu banyak berlatih bahasa inggris waktu ikutan online game utopia. Di game ini ceritanya kita jadi kepala salah satu provinsi di suatu kerajaan online, dan kalo lagi perang ngatur strateginya lewat ICQ. Ternyata cukup ribet juga untuk nerangin sesuatu in english.
SukaSuka
mbot
/ 1 Mei 2005yah gpp deh, penderitaan gue ternyata bisa menghibur…:-)
SukaSuka
mbot
/ 1 Mei 2005yah beginilah saat nasib sedang tidak berpihak, bukannya memberikan dukungan moral malah ikutan nimbrung! :-((
SukaSuka
mbot
/ 1 Mei 2005idenya boleh juga, besok gue usulin deh!
SukaSuka
mbot
/ 1 Mei 2005tauk tuh, emang dasar temen2ku pada iseng semua. maklumlah anak2 muda :-p
SukaSuka
mbot
/ 1 Mei 2005mudharatnya:tiap kali mau makan siang, mau minjem setip, mau jalan ke wc, mau ngambil minum di dispenser, jadi harus mikir 2-3 kali sebelum ngomong, daripada nanti dijadiin bahan ledekan baru :-)hidup jadi tak tenang :-)))
SukaSuka
mbot
/ 1 Mei 2005ah sudahlah ngga penting…:-)
SukaSuka
mbot
/ 1 Mei 2005waktu placement test lagi masuk angin kali…
SukaSuka
mbot
/ 1 Mei 2005makasi…:-)belajar otodidak, walaupun mungkin makan waktu lebih lama, tapi memberikan keuntungan kita bisa nemuin metode belajar yang paling cocok sama style kita.
SukaSuka